Konflik Antara Masyarakat Sekitar Hutan, Masyarakat Adat, dan Perusahaan Pengusahaan Hutan (Studi Kasus di Propinsi Kalimantan Tengah)


Pola-pola pengelolaan hutan selama ini yang digunakan oleh kalangan pengusaha hutan tidak membawa dampak positif terhadap kehidupan masyarakat sekitar kawasan terutama masyarakat adat yang pergerakannya makin sempit. Perkembangan informasi dan teknologi telah membawa dampak baik dan buruk bagi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan tersebut. Masyarakat yang pranata adatnya masih kuat tetap menganggap hutan sebagai tempat penghidupan bagi anak cucu mereka, sedangkan masyarakat yang telah mengalami pergeseran budaya dengan adanya informasi dan teknologi juga telah mengalami pergeseran-pergeseran pandangan terhadap hutan tersebut.

Perbedaan pandangan itulah yang akhirnya akan menimbulkan konflik-konflik kecil antar masyarakat adat sendiri, masyarakat adat dengan pengusaha hutan, serta masyarakat adat dengan masyarakat pendatang. Pertumbuhan penduduk juga mempengaruhi kehidupan masyarakat adat sekitar hutan yang selama ini sangat mengandalkan hasil hutan non kayu sebagai produk penyokong ekonomi mereka telah rusak oleh pengelolaan hutan oleh pengusahaan hutan yang telah berlangsung hampir selama 4 dasawarsa. Pemerintah yang selama ini mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan seakan tutup mata dan cuci tangan terhadap kejadian-kejadian semacam ini. Ada kesan setelah mengeluarkan kebijakan, mereka tak bertanggungjawab terhadap akibat dari kebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan serta pengelolaan hutan tanpa peran serta masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan. Apabila terjadi persoalan (konflik) dan perbedaan pandangan tentang tata batas dan pelanggaran adat oleh pengusaha hutan akan sulit sekali diselesaikan karena dari awalnya memang pengelolaan hutan selama ini tidak melibatkan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu stake holder yang memegang peranan penting dalam hal itu. Semakin banyak persoalan dan konflik yang terjadi semakin besar pula biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha, dan inipun tidak menguntungkan bagi masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang akan semakin resah oleh persoalan-persoalan tambahan yang mereka hadapi selain persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.

Konflik-konflik terjadi disebabkan oleh
beberapa hal seperti:
1. Masalah tata batas yang tidak jelas antar dua belah pihak.
2. Pelanggaran adat oleh pengusaha hutan.
3. Ketidakadilan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan.
4. Hancurnya penyokong kehidupan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan karena semakin rusak dan sempitnya hutan.
5. Tak ada kontribusi positif pengelolaan hutan selama ini terhadap masyarakat adat dan
masyarakat sekitar hutan.
6. Perusahaan tidak melibatkan masyarakat adat dan atau masyarakat sekitar hutan dalam
pengusahaan hutan.


Contoh kasus

Salah satu contoh kasus adalah protesnya 10 warga desa di Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, mereka menolak dengan tegas kehadiran HPHKm (Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Komashut (Koperasi Masyarakat Sekitar Hutan). Setelah ditelusuri pemilik salah satu saham HPHKm tersebut adalah koperasinya Pemkab Kotawaringin Timur yaitu Koperasi Beringin yang memiliki areal hutan produksi sekitar 5000 ha lebih, sedangkan lainnya HPHKm dan Komashut Batuah Mumpung yang ketiganya bekerjasama dengan PT Tanjung Menthobi di Pangkalan Bun. Pada saat yang sama masyarakat juga melakukan protes pertama kenapa HPHKm tersebut tak menghargai keberadaan masyarakat 10 desa di kecamatan tersebut, protes kedua selama ini HPHKm dan Komashut tersebut tak memberikan kontribusi apapun terhadap masyarakat sekitar kawasan areal produksi itu, dan protes ketiga peta areal yang diberikan Pemkab Kotawaringin Timur untuk digarap, tidak memiliki aturan atau batas yang jelas terutama areal HPHKm dengan hutan potensi desa atau kebun masyarakat. Keberadaan HPHKm dan Komashut tersebut tak memberikan ruang hidup bagi masyarakat setempat. Kasus yang sama terjadi di Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas. Masyarakat sekitar hutan di Tumbang Murui, Danau Rawah, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas merasa dirugikan karena perusahaan IPK Inti Karya Sejati telah melakukan eksploitasi kayu di kebun masyarakat sekitar kawasan. Protes yang dilakukan hampir sama dengan kasus di Kabupaten Seruyan. PT Inti Karya Sejati telah memperoleh IPK dari dinas kabupaten setempat namun da lam peta areal tak memiliki batas yang jelas dengan kebun masyarakat sekitar hutan sehingga pada saat terjadi pelanggaran tata batas sampai ratusan hektar mereka tak mengetahuinya. Kedua kasus tersebut di atas sampai sekarang juga tak jelas penyelesaiannya.

Sumber: Laporan Investigasi, FWI Simpul Bogor, November 2002.

Komentar saya.

Pengusaha hutan sangat tidak perduli atau mungkin tidak tahu bahwa di dalam hutan bukan Cuma hutan belaka. Hutan di Indonesia biasanya ada penghuninya, seperti suku pedalaman. Oleh karena itu dalam mengelola serta memanfaatkan hutan, mereka harus meneliti dulu wilayah yang akan dimanfaatkan. Akibat yang terjadi seperti yang tertera dalam contoh kasus di atas, konflik antara masyarakat suku pedalaman dengan pengusaha perhutanan. Masyarakat pedalaman merasa rumah tempat tinggalnya diganggu oleh penebangan hutan, dan mereka melakukan protes. Tapi tidak ditanggapi secara serius oleh perusahaan perhutan. Akhirnya terjadilah konflik antara masyarakat pedalaman, dengan perusahaan perhutanan.

Namun kalau diperhatikan dan ditelusuri, ada factor lain selain karena hutannya atau rumahnya dirusak oleh perusahaan. Factor yang saya maksud adalah factor ekonomi. Perusahaan perhutanan tersebut mencari lahan bisnis yaitu hutan untuk diambil kayunya, supaya menghasilkan uang. Karena adanya sifat maruk dan egois, makanya timbul masalah lain. Simpulannya masalah awal adalah ekonomi lagi.

Komentar

Postingan Populer